Wednesday, 30 October 2013

COSMOPOLITE



Tanggapan Atas Pernyataan Drs. Ade Banani, MMS dalam Forum COSMOPOLITE “APEC: Indonesia Untung Atau Buntung” Pada Kamis, 10 Oktober 2013 Pukul 15.30-Selesai di Fakultas Ekonomi Unsoed Gedung A Ruang 204.
Tentang Sikap Beliau dalam Mendukung Sistem Kerja Outsorcing Bagi Kaum Buruh Di Indonesia

Oleh : Symphati Dimas R

Pengantar
Surat terbuka ini adalah tanggapan dari sebuah forum yang cukup menarik, dimana Bapak Ade Banani mencoba mengkritisi pertemuan KTT APEC yang baru saja usai pada tanggal 8 Oktober 2013 lalu. Menurut beliau APEC tidaklah menguntungkan bagi indonesia karena dinilai indonesia secara kekuatan ekonomi dan politik belumlah mampu bersai di tingkat Asia Pasifik. Penguatan basis ekonomi indonesia menurut beliau adalah dengan bagaimana menjadikan Indonesia sebagai temapat yang nyaman bagi para investor, terutama asing. Menurut beliau, Indonesia saat ini belumlah beriklim bisnis yang nyaman, beliau mencontohkan, tuntutan buruh di Jakarta dengan meminta kenaikan upah hingga 3,5 juta adalah hal yang berlebihan, dan sistem kerja outsorcing yang selama ini ditentang oleh para buruh adalah sebuah sistem yang cukup rasional dan baik.

Surat ini bertujuan untuk mengkritisi pendapat beliau yang saya berikan cetak tebal diatas.


Argumentasi Dasar
Memasuki abad ke-20, kapitalisme telah memasuki tahap tertinggi dan terakhir bernama imperialisme (kerajaan kapital monopoli dalam skala dunia). Dan ketika panah waktu bergerak ke abad ke-21, kita menjadi saksi hidup dari krisis demi krisis yang menimpa imperialisme yang kian kronis (krisis AS tahun 2007-2009, Krisis  Uni Eropa 2011-sekarang, Krisis AS Shutdown US tahun ini). Seiring perkembangan waktu, kapitalisme semakin tua dan tidak cocok dengan semangat pembaruan zaman lagi. Akar dari krisis ini terletak di dalam sistem kapitalisme itu sendiri; overproduksi barang-barang bertehnologi tinggi dan persenjataan militer, krisis energi karena kerakusan mereka sendiri, krisis keuangan (financial) karena praktek manipulasi mereka sendiri, anarkhi produksi serta perebutan pasar dunia bagi barang komoditas di kalangan kekuatan imperialisme sendiri juga.

Krisis umum imperialisme pada abad ke-21 ini telah semakin memperjelas watak mereka yang sesungguhnya; perampok yang rakus dan barbar, terorisme negara yang getol mengobarkan perang agresi, dan kehancuran sosial di seluruh dunia. Sistem kapitalisme telah melewati masa-masa keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri persemakmuran (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming kemakmuran tahun 1980-an. Pemangkasan subsidi sosial, kesehatan, pendidikan, dsb, menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang semakin dimiskinkan; baik di negeri-negeri maju belahan Utara maupun negeri-negeri bergantung di belahan Selatan.

Disebabkan oleh kedudukannya sebagai negeri-negeri yang bergantung pada imperialisme, krisis umum imperialisme memiliki dampak langsung terhadap negeri setengah-jajahan seperti Indonesia. Secara obyektif, kedudukan negeri-negeri jajahan/setengah-jajahan dan setengah feodal yang tersebar di berbagai belahan dunia merupakan basis sosial bagi imperialisme. Negeri-negeri tersebut diperintah oleh rezim-rezim komprador (kaki-tangan) yang melayani kepentingan imperialisme dengan mengeluarkan berbagai peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat negerinya. Demikianlah kenyataannya, rezim-rezim komprador Republik Indonesia yang datang silih berganti; masih dengan setia diperbudak oleh Imperialisme dengan menerbitkan berbagai perundang-undangan betapa pun paket peraturan tersebut bertentangan dengan semangat UUD-1945 yang jelas-jelas memiliki watak anti-imperialisme (kolonialisme). Namun penjebolan atas UUD 1945 yang lahir dari perjuangan revolusi nasional anti kolonialisme tersebut telah benar-benar dilakukan oleh rezim-rezim komprador sejak zaman Suharto hingga SBY-Budiono.

Sistem Buruh Kontrak dan Outsorcing adalah Kebijakan Pro-imperialisme dan Anti-Buruh

Sistem kerja kontrak dan outsorcing kian marak dan membumi, bahkan dianggap sebuah kewajaran dalam politik perburuhan Indonesia. Mulai dari para akademisi, politisi, ekonom, hingga produk hukum secara gamblang banyak yang membela peraturan menyesatkan ini. Keberadaan sistem kerja yang demikian dimungkinkan karena watak yang dimiliki oleh penguasa negeri ini (SBY-Boediono) adalah watak komprador. Pemerintahan reaksi ini terus menerus menawarkan indonesia ke seluruh penjuru dunia, tentunya ke tuanya yaitu imperialisme, bahwa indonesia mampu dan dengan bangga  menyediakan tenaga kerja murah dan berlimpah. Alih-alih untuk mendukung kemajuan perekonomian dan mengurangi pengguran, namun sistem ini tak ubahnya upaya penjeremusan perbudakan gaya baru. Kondisi kaum buruh dalam sistem kontrak dan outsorcing tak ubahnya seperti para budak saat zaman perbudakan. Buruh dinilai sebagai tenaga kerja sekaligus komoditi jual beli yang menguntungkan bagi pemerintah, sehingga tak penting untuk diperhatikan dan di sejahterakan.

Dengan dilegitimasinya peraturan tentang kontrak dan outsorcing mengakibatkan buruh terombang-ambing dalam status kerjanya, buruh dituntut untuk menandatangani kontrak demi kontrak yang dibuat oleh pengusaha, kontrak tersebut dapat diputus kapanpun secara sepihak oleh pengusaha. Demikian dengan para pekerja outsorcing, mereka layaknya gas atau minyak tanah, mereka memiliki agen pekerja untuk menyuplainya ke pengusaha atau institusi yang ingin menyewa jasanya, sehingga pereka menggantungkan diri pada para agen yang tidak pernah menjamin kondisi kesejahteraanya.

Kesejahteraan hari ini dapat diukur yang paling mudah dengan gaji/upah. Berbicara upah, buruh akan berteriak “Naikan Upah Kami !!!” mengapa ? karena yang selama ini diterima belumlah bisa untuk mengakses hak-hak dasar rakyat indonesia. Apa saja hak dasarnya : Makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan. Pertanyaanya, apakah dengan gaji rata-rata 2 juta, apakah para buruh dapat meraih hak-hak diatas ? jawabnya tidak. Mengapa tidak, karena saat ini negara mematok harga menggila bagi kebutuhan pokok rakyat. Pendidikan saja misalnya, di Unsoed ini dengan UKT yang hanya tipu daya murahnya pendidikan, minimal biaya pendidikannya 2,4 juta. Jelas bahwa kesejahteraan dengan menuntut upah itu adalah kewajaran. Dan jelas pula, kebijakan kontrak dan outsorcing adalah kejahatan kemanusiaan.

Berikut beberapa praktek umum yang dilakukan oleh Majikan dalam menerapkan buruh kontrak.
1.      Banyak Majikan yang awalnya mempekerjakan buruh tanpa melalui perjanjian kerja, bahkan buruh hanya menggunakan KTP untuk melamar kerja tetapi setelah buruh bekerja 3 bulan atau lebih majikan memanggil si buruh untuk menandatangani perjanjian kerja dengan alasan di lakukan perpanjangan kontrak. Padahal dalam Pasal 57 ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Dan dalam pasal 2 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dengan kata lain menjadi buruh tetap.

2.      Praktek lain yang di lakukan oleh Majikan dalam mempekerjakan buruh kontrak, sebelumnya di berlakukan masa percobaan, sedangkan perjanjian kerja waktu tertentu tidak di bolehkan adanya masa percobaan selama 3 bulan, setelah itu majikan memanggil untuk membuat perjanjian kerja/kontrak. Sebagaimana dalam pasal 58 ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dan dalam ayat 2 Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. Dengan kata lain tidak berlaku kontraknya.

3.      Selian dua praktek diatas tidak sedikit pengusaha yang melakukan perpanjangan kontrak hingga lebih satu kali bahkan tidak sedikit buruh yang menandatangani kontrak hingga puluhan kali yang kemudian si buruh tetap menjadi buruh kontrak meskipun masa kerja telah melebihi 3 tahun. Padahal dalam pasal  59 ayat 4 “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu   dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.

4.      Masalah lain yang sering di langgar oleh pengusaha adalah dalam melakukan perpanjangan kontrak kerap melebihi waktu berakhirnya masa kontrak sebelumnya. Sedangkan dalam ketentuan pasal 59 ayat 5  “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan”.

5.      Praktek lain yang saat ini marak terjadi adalah, para majikan yang telah menggunakan buruh berstatus tetap, berupaya menerapkan trik-trik culas dengan alasan sepi order mereka meliburkan sementara buruhnya di beberapa bagian atau selurunya beberapa bulan, ketika meliburkan ada majikan yang membayar upah buruh yang di liburkan tetapi tidak sedikit dan bahkan mayoritas majikan tidak membayar buruhnya ketika meliburkan. Setelah beberapa bulan mereka meliburkan maka si majikan kemudian memanggil dan menyampaikan perusahaan tidak lagi sanggup untuk beroperasi, maka menawarkan buruh untuk di PHK dengan pesangon alakadarnya/tidak sesuai dengan ketentuan. Tetapi setelah berhasil melakukan PHK mereka kemudian menerima kembali buruh baru dengan status kontrak.

6.      Fenomena terbaru yang berkembang saat ini adalah semakin banyak pengusaha dengan kedok memberikan sarana pendidikan dan pelatihan mereka mendirikan Pusat Pelatihan dan merekrut tenaga kerja dengan tidak membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mereka dipekerjakan sebagaimana layaknya buruh biasa yang juga menghasilkan barang produksi. Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan baik dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis, padahal jika kita pahami lebih dalam maka akan terkuaklah keculasan para pengusaha tersebut. Mereka sejatinya menghindari tenaga kerja buruh baru dengan status masa percobaan/training, sebab apabila buruh yang sudah mampu bekerja dengan baik di Pusat Pelatihan tersebut maka mereka akan melakukan rekruetmen dengan setatus ikatan dinas dengan masa kerja 3-5 tahun, padahal sejatinya mereka bekerja dengan setatus buruh kontrak dengan masa kerja yang sangat panjang dan menindas buruh mereka di kontrak sampai dengan 5 tahun, dan apabila belum selesai masa kontrak/ikatan dinas buruh ingin keluar dari perusahaan maka mereka diberikan denda sebanyak biaya pendidikan dan pelatihan perusahaan. Prkatek ini dapat kita temukan di PT UCC begitu juga praktek yang hampir sama dilakukan di PT. Jaba Garmindo. Jika kita memeriksa ketentuan perundang-undangan disitu dijelaskan didalam pasal 58: (1) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja”. (2)    Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.[1]

Kesalahan Berlogika
            Bapak Ade Banani alih-alih menentang pertemuan APEC karena tidak menguntungkan tetapi tetap dengan gigih mendukung politik upah murah dan praktik kontrak dan outsorcing. Ini mungkin diasumsikan untuk menarik diri ke zona aman perdebatan. Beliau seakan berada ditengah. Hal ini wajar karena banyak intelektual kita saat ini memposisikan diri sedemikan miripnya dengan apa yang dilakuakan Ade Banani, sederhanya beliau ingin mengatakan “Ini baik ketika.... dan menjadi buruk ketika.... “. Nampak heroik sekali argumentasi tersebut karena berupaya memberikan syarat-syarat tertentu agar dapat dinilai baik atau buruk. Namun akan menjadi pahlawan yang salah tangkap jika tidak terlebih dahulu melihat dengan detail apa yang sedang dipersyaratkan.
           
            Anggapan beliau bahwa APEC tidak menguntukan dan harus ditolak sangat bertentangan dengan posisi beliau dalam memandang dan mendukung kerja kontrak dan outsorcing. Dimana pertentangannya ? kedua fenomena itu, APEC dan kerja kontrak dan outsorcing adalah dua produk dari sistem ekonomi kapitalisme. Keduanya adalah proses penyelamatan diri kapitalisme dari krisis akut yang menimpanya. APEC digunakan oleh kapitalisme, dalam hal ini menjelam sebagai imperialisme untuk sarana konsolidasi pembukaan pasar konsumsi, pembukaan wilayah bahan baku produksi, pembagian krisis yang dideritanya kepada negara lain, pembuatan pabrik-pabrik, serta usaha jual beli tenaga kerja. Yang disebutkan belakangan adalah apa yang didukung oleh Ade Banani, sehingga terjadi kontradiksi dalam argumentasinya. Kontradiksi ini terjadi karena usaha Ade Banani untuk berusaha menyatukan atau mendamaikan kepentingan kaum buruh dan kapitalis, atau dalam satuan sistem, berusaha mendamaikan antara sosialisme dan kapitalisme. Usaha ini dilakukan tanpa melihat atau mungkin belum mengetahui prinsip dari masing-masing sistem atau kepentingan tersebut yang sejatinya adalah konflik antagonis dan harus saling menegasikan.


1. Hasil Investigasi Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI).

0 komentar:

Post a Comment