Tanggapan Atas Pernyataan Drs. Ade Banani, MMS dalam
Forum COSMOPOLITE “APEC: Indonesia Untung Atau Buntung” Pada Kamis, 10 Oktober
2013 Pukul 15.30-Selesai di Fakultas Ekonomi Unsoed Gedung A Ruang 204.
Tentang Sikap Beliau dalam Mendukung Sistem Kerja Outsorcing
Bagi Kaum Buruh Di Indonesia
Oleh : Symphati Dimas R
Pengantar
Surat terbuka ini adalah tanggapan dari
sebuah forum yang cukup menarik, dimana Bapak Ade Banani mencoba mengkritisi
pertemuan KTT APEC yang baru saja usai pada tanggal 8 Oktober 2013 lalu.
Menurut beliau APEC tidaklah menguntungkan bagi indonesia karena dinilai
indonesia secara kekuatan ekonomi dan politik belumlah mampu bersai di tingkat
Asia Pasifik. Penguatan basis ekonomi indonesia menurut beliau adalah dengan
bagaimana menjadikan Indonesia sebagai temapat yang nyaman bagi para investor,
terutama asing. Menurut beliau, Indonesia saat ini belumlah beriklim bisnis
yang nyaman, beliau mencontohkan, tuntutan
buruh di Jakarta dengan meminta kenaikan upah hingga 3,5 juta adalah hal yang
berlebihan, dan sistem kerja outsorcing yang selama ini ditentang oleh para
buruh adalah sebuah sistem yang cukup rasional dan baik.
Surat
ini bertujuan untuk mengkritisi pendapat beliau yang saya berikan cetak tebal
diatas.
Argumentasi Dasar
Memasuki abad ke-20, kapitalisme telah memasuki tahap
tertinggi dan terakhir bernama imperialisme (kerajaan kapital monopoli
dalam skala dunia). Dan ketika panah waktu bergerak ke abad ke-21, kita
menjadi saksi hidup dari krisis demi krisis yang menimpa imperialisme yang kian
kronis (krisis AS tahun 2007-2009, Krisis
Uni Eropa 2011-sekarang, Krisis AS Shutdown US tahun ini). Seiring
perkembangan waktu, kapitalisme semakin tua dan tidak cocok dengan semangat
pembaruan zaman lagi. Akar dari krisis ini terletak di dalam sistem kapitalisme
itu sendiri; overproduksi barang-barang bertehnologi tinggi dan persenjataan
militer, krisis energi karena kerakusan mereka sendiri, krisis keuangan
(financial) karena praktek manipulasi mereka sendiri, anarkhi produksi serta
perebutan pasar dunia bagi barang komoditas di kalangan kekuatan imperialisme
sendiri juga.
Krisis umum imperialisme pada abad ke-21 ini telah
semakin memperjelas watak mereka yang sesungguhnya; perampok yang rakus dan
barbar, terorisme negara yang getol mengobarkan perang agresi, dan kehancuran
sosial di seluruh dunia. Sistem kapitalisme telah melewati masa-masa
keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri
persemakmuran (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming
kemakmuran tahun 1980-an. Pemangkasan subsidi sosial, kesehatan, pendidikan,
dsb, menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang
semakin dimiskinkan; baik di negeri-negeri maju belahan Utara maupun
negeri-negeri bergantung di belahan Selatan.
Disebabkan oleh kedudukannya sebagai negeri-negeri
yang bergantung pada imperialisme, krisis umum imperialisme memiliki dampak langsung
terhadap negeri setengah-jajahan seperti Indonesia. Secara obyektif, kedudukan
negeri-negeri jajahan/setengah-jajahan dan setengah feodal yang tersebar di
berbagai belahan dunia merupakan basis sosial bagi imperialisme. Negeri-negeri
tersebut diperintah oleh rezim-rezim komprador (kaki-tangan) yang melayani
kepentingan imperialisme dengan mengeluarkan berbagai
peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat
negerinya. Demikianlah kenyataannya, rezim-rezim komprador Republik Indonesia
yang datang silih berganti; masih dengan setia diperbudak oleh Imperialisme
dengan menerbitkan berbagai perundang-undangan betapa pun paket peraturan
tersebut bertentangan dengan semangat UUD-1945 yang jelas-jelas memiliki watak
anti-imperialisme (kolonialisme). Namun penjebolan atas UUD 1945 yang lahir
dari perjuangan revolusi nasional anti kolonialisme tersebut telah benar-benar
dilakukan oleh rezim-rezim komprador sejak zaman Suharto hingga SBY-Budiono.
Sistem Buruh
Kontrak dan Outsorcing adalah Kebijakan Pro-imperialisme dan Anti-Buruh
Sistem kerja kontrak dan outsorcing kian marak dan
membumi, bahkan dianggap sebuah kewajaran dalam politik perburuhan Indonesia.
Mulai dari para akademisi, politisi, ekonom, hingga produk hukum secara gamblang
banyak yang membela peraturan menyesatkan ini. Keberadaan sistem kerja yang
demikian dimungkinkan karena watak yang dimiliki oleh penguasa negeri ini
(SBY-Boediono) adalah watak komprador. Pemerintahan reaksi ini terus menerus
menawarkan indonesia ke seluruh penjuru dunia, tentunya ke tuanya yaitu
imperialisme, bahwa indonesia mampu dan dengan bangga menyediakan tenaga kerja murah dan berlimpah.
Alih-alih untuk mendukung kemajuan perekonomian dan mengurangi pengguran, namun
sistem ini tak ubahnya upaya penjeremusan perbudakan gaya baru. Kondisi kaum
buruh dalam sistem kontrak dan outsorcing tak ubahnya seperti para budak saat
zaman perbudakan. Buruh dinilai sebagai tenaga kerja sekaligus komoditi jual
beli yang menguntungkan bagi pemerintah, sehingga tak penting untuk
diperhatikan dan di sejahterakan.
Dengan dilegitimasinya peraturan tentang kontrak dan
outsorcing mengakibatkan buruh terombang-ambing dalam status kerjanya, buruh
dituntut untuk menandatangani kontrak demi kontrak yang dibuat oleh pengusaha,
kontrak tersebut dapat diputus kapanpun secara sepihak oleh pengusaha. Demikian
dengan para pekerja outsorcing, mereka layaknya gas atau minyak tanah, mereka
memiliki agen pekerja untuk menyuplainya ke pengusaha atau institusi yang ingin
menyewa jasanya, sehingga pereka menggantungkan diri pada para agen yang tidak
pernah menjamin kondisi kesejahteraanya.
Kesejahteraan hari ini dapat diukur yang paling mudah
dengan gaji/upah. Berbicara upah, buruh akan berteriak “Naikan Upah Kami !!!”
mengapa ? karena yang selama ini diterima belumlah bisa untuk mengakses hak-hak
dasar rakyat indonesia. Apa saja hak dasarnya : Makan, pakaian, tempat tinggal,
pendidikan, kesehatan. Pertanyaanya, apakah dengan gaji rata-rata 2 juta,
apakah para buruh dapat meraih hak-hak diatas ? jawabnya tidak. Mengapa tidak,
karena saat ini negara mematok harga menggila bagi kebutuhan pokok rakyat. Pendidikan
saja misalnya, di Unsoed ini dengan UKT yang hanya tipu daya murahnya
pendidikan, minimal biaya pendidikannya 2,4 juta. Jelas bahwa kesejahteraan
dengan menuntut upah itu adalah kewajaran. Dan jelas pula, kebijakan kontrak
dan outsorcing adalah kejahatan kemanusiaan.
Berikut
beberapa praktek umum yang dilakukan oleh Majikan dalam menerapkan buruh
kontrak.
1. Banyak
Majikan yang awalnya mempekerjakan buruh tanpa melalui perjanjian kerja, bahkan
buruh hanya menggunakan KTP untuk melamar kerja tetapi setelah buruh bekerja 3
bulan atau lebih majikan memanggil si buruh untuk menandatangani perjanjian
kerja dengan alasan di lakukan perpanjangan kontrak. Padahal dalam Pasal 57
ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta
harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Dan dalam pasal
2 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dengan kata
lain menjadi buruh tetap.
2. Praktek lain
yang di lakukan oleh Majikan dalam mempekerjakan buruh kontrak, sebelumnya di
berlakukan masa percobaan, sedangkan perjanjian kerja waktu tertentu tidak di
bolehkan adanya masa percobaan selama 3 bulan, setelah itu majikan memanggil
untuk membuat perjanjian kerja/kontrak. Sebagaimana dalam pasal 58 ayat 1 Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
Dan dalam ayat 2 Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang
disyaratkan batal demi hukum. Dengan kata lain tidak berlaku
kontraknya.
3. Selian dua
praktek diatas tidak sedikit pengusaha yang melakukan perpanjangan kontrak
hingga lebih satu kali bahkan tidak sedikit buruh yang menandatangani kontrak
hingga puluhan kali yang kemudian si buruh tetap menjadi buruh kontrak meskipun
masa kerja telah melebihi 3 tahun. Padahal dalam pasal 59 ayat 4 “Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya
boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun”.
4. Masalah lain
yang sering di langgar oleh pengusaha adalah dalam melakukan perpanjangan
kontrak kerap melebihi waktu berakhirnya masa kontrak sebelumnya. Sedangkan dalam
ketentuan pasal 59 ayat 5 “Pengusaha yang bermaksud
memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh)
hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan”.
5. Praktek lain
yang saat ini marak terjadi adalah, para majikan yang telah menggunakan buruh
berstatus tetap, berupaya menerapkan trik-trik culas dengan alasan sepi order
mereka meliburkan sementara buruhnya di beberapa bagian atau selurunya beberapa
bulan, ketika meliburkan ada majikan yang membayar upah buruh yang di liburkan
tetapi tidak sedikit dan bahkan mayoritas majikan tidak membayar buruhnya
ketika meliburkan. Setelah beberapa bulan mereka meliburkan maka si majikan
kemudian memanggil dan menyampaikan perusahaan tidak lagi sanggup untuk
beroperasi, maka menawarkan buruh untuk di PHK dengan pesangon
alakadarnya/tidak sesuai dengan ketentuan. Tetapi setelah berhasil melakukan
PHK mereka kemudian menerima kembali buruh baru dengan status kontrak.
6. Fenomena
terbaru yang berkembang saat ini adalah semakin banyak pengusaha dengan kedok
memberikan sarana pendidikan dan pelatihan mereka mendirikan Pusat Pelatihan
dan merekrut tenaga kerja dengan tidak membayar upah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, mereka dipekerjakan sebagaimana layaknya buruh biasa yang juga
menghasilkan barang produksi. Banyak buruh yang salah dalam memandang karena
seolah-olah perusahaan baik dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan
gratis, padahal jika kita pahami lebih dalam maka akan terkuaklah keculasan
para pengusaha tersebut. Mereka sejatinya menghindari tenaga kerja buruh baru
dengan status masa percobaan/training, sebab apabila buruh yang sudah mampu
bekerja dengan baik di Pusat Pelatihan tersebut maka mereka akan melakukan
rekruetmen dengan setatus ikatan dinas dengan masa kerja 3-5 tahun, padahal
sejatinya mereka bekerja dengan setatus buruh kontrak dengan masa kerja yang
sangat panjang dan menindas buruh mereka di kontrak sampai dengan 5 tahun, dan
apabila belum selesai masa kontrak/ikatan dinas buruh ingin keluar dari
perusahaan maka mereka diberikan denda sebanyak biaya pendidikan dan pelatihan
perusahaan. Prkatek ini dapat kita temukan di PT UCC begitu juga praktek yang
hampir sama dilakukan di PT. Jaba Garmindo. Jika kita memeriksa ketentuan
perundang-undangan disitu dijelaskan didalam pasal 58: (1) “Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja”. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang
disyaratkan batal demi hukum.[1]
Kesalahan Berlogika
Bapak Ade Banani alih-alih menentang
pertemuan APEC karena tidak menguntungkan tetapi tetap dengan gigih mendukung
politik upah murah dan praktik kontrak dan outsorcing. Ini mungkin diasumsikan
untuk menarik diri ke zona aman perdebatan. Beliau seakan berada ditengah. Hal ini
wajar karena banyak intelektual kita saat ini memposisikan diri sedemikan
miripnya dengan apa yang dilakuakan Ade Banani, sederhanya beliau ingin
mengatakan “Ini baik ketika.... dan menjadi buruk ketika.... “. Nampak heroik
sekali argumentasi tersebut karena berupaya memberikan syarat-syarat tertentu
agar dapat dinilai baik atau buruk. Namun akan menjadi pahlawan yang salah
tangkap jika tidak terlebih dahulu melihat dengan detail apa yang sedang
dipersyaratkan.
Anggapan beliau bahwa APEC tidak
menguntukan dan harus ditolak sangat bertentangan dengan posisi beliau dalam
memandang dan mendukung kerja kontrak dan outsorcing. Dimana pertentangannya ?
kedua fenomena itu, APEC dan kerja kontrak dan outsorcing adalah dua produk
dari sistem ekonomi kapitalisme. Keduanya adalah proses penyelamatan diri
kapitalisme dari krisis akut yang menimpanya. APEC digunakan oleh kapitalisme,
dalam hal ini menjelam sebagai imperialisme untuk sarana konsolidasi pembukaan
pasar konsumsi, pembukaan wilayah bahan baku produksi, pembagian krisis yang
dideritanya kepada negara lain, pembuatan pabrik-pabrik, serta usaha jual
beli tenaga kerja. Yang disebutkan belakangan adalah apa yang didukung oleh
Ade Banani, sehingga terjadi kontradiksi dalam argumentasinya. Kontradiksi ini
terjadi karena usaha Ade Banani untuk berusaha menyatukan atau mendamaikan
kepentingan kaum buruh dan kapitalis, atau dalam satuan sistem, berusaha
mendamaikan antara sosialisme dan kapitalisme. Usaha ini dilakukan tanpa
melihat atau mungkin belum mengetahui prinsip dari masing-masing sistem atau
kepentingan tersebut yang sejatinya adalah konflik antagonis dan harus saling
menegasikan.
0 komentar:
Post a Comment