Konflik Antara Masyarakat Adat dan Pemerintah
(Kontradiksi Hukum Positif dan Hukum Adat)
Symphati Dimas R
Selama ini muncul anggapan bahwa
pelaksanaan reforma agraria akan mengancam eksistensi golongan masyarakat atau
bangsa minoritas atau yang biasa disebut ‘masyarakat adat’.[1]
Anggapan ini sesungguhnya tidaklah keliru, namun tidak pula tepat. Munculnya
anggapan ini berasal dari pelaksanaan pseudo
land reform (reforma agraria palsu) yang dilaksanakan pemerintah pada masa
Orde Baru melalui program transmigrasi. Sebagaimana telah banyak diulas secara
kritis dan ilmiah, pelaksanaan program transmigrasi pada era Orde Baru pada
akhirnya memunculkan kesan ‘Kolonialisme Jawa’ yang memunculkan reaksi negatif
dari masyarakat dalam berbagai bentuk konflik sosial sampai gerakan bersenjata.
Reaksi tersebut dikarenakan program transmigrasi dilaksanakan tanpa terlebih
dulu melakukan penyiapan infrastruktur sosial, politik, dan kebudayaan pada
masyarakat yang sebelumnya mendiami areal transmigrasi.
Di samping itu, permasalahan pokok
lain yang dialami oleh kalangan masyarakat minoritas adalah besarnya ancaman
terhadap kelangsungan kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaannya akibat
penetrasi kapital rakus. Penetrasi ini berlangsung dalam berbagai bentuk yang
pada intinya merusak tatanan ekonomi, politik, dan budaya masyarakat yang telah
berakar dalam tradisi. Perusakan ini kerap dilegitimasi dengan
peraturan-peraturan agraria dan investasi yang memang tidak berpihak dan
berorientasi pada kesinambungan hidup masyarakat minoritas. Namun perusakan
tetap saja harus diakui oleh kita semua sebagai sebab dari kemiskinan dan
kesengsaraan golongan masyarakat minoritas yang tersebar di berbagai wilayah di
Indonesia.
Peraturan-peraturan tentang agraria
yang diterbitkan oleh pemerintah kerap bertabrakan dengan hukum-hukum adat
masyarakat. Seperti yang terbaru, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Undang-undang ini
mengatur tentang bagaimana proses pengambilalihan tanah atau perampasan tanah
atas nama negara dan kepentingan umum. Keberadaan peraturan ini juga merambah
ke ranah tanah adat masyarakat minoritas. Permasalahan utama yang hadir dari
peraturan ini adalah adanya proses perubahan pemanfaatan tanah.
Harus dipahami bahwa redistribusi
lahan yang merupakan program inti reforma agraria tidak bermaksud untuk
mengkapling-kapling tanah dan membagi-bagikannya kepada kaum tani sehingga
menjadi barang milik secara perseorangan. Redistribusi lahan secara esensi
lebih berorientasi pada pengembalian manfaat lahan yang sebelumnya dikuasai
secara monopoli oleh tuan-tuan tanah kepada kaum tani. Oleh karenanya, dalam
konteks kepentingan sosio-budaya golongan masyarakat minoritas, redistribusi
bisa dilakukan tanpa merombak basis kepemilikan lahan yang masih berwatak
komunal. Perombakan struktur agraria yang monopolistik melalui pelaksanaan
reforma agraria sejati pada akhirnya memberikan perlindungan sekaligus dorongan
untuk pengembangan kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan bagi bangsa-bangsa
minoritas secara berkesinambungan.
Salah satu masyarakat minoritas yang
menjadi target sasaran dari tata perundang-undangan dan konsep pembangunan
nasional saat ini adalah wilayah indonesia bagian timur. Hal ini terjadi mulai
awal tahun 1990-an hingga saat ini. Masyarakan adat disana sempat melakukan
pertemuan di Ambon, dihadiri masyarakat adat Maluku dan Papua. Mereka sepakat
bahwa salah satu masalah pokok bersama adalah pencaplokan kawasan ulayat adat
mereka oleh pemerintah dan perusahan swasta besar dari luar.[2]
Kepulauan Maluku terdiri 1.027 pulau
besar dan kecil, yang tersebar seluas 851.000 km², terdiri dari 85.728 km²
(10,1%) berbentuk daratan, sementara 765.272 km² (89,9%) berupa lautan. Dalam
hal kepadatan penduduk juga Maluku tidak sepadat provinsi lainnya. Menurut
sensus penduduk 2010 penduduk di kepulauan Maluku sebanya 1.533.506 jiwa.
Permasalahan tanah adat di Maluku dan
Papua ini tidak jauh berbeda dengan pandangan dengan masyarakat adat di wilayah
lain. Bagi mereka tanah adalah sumber kehidupan dan kebudayaan yang tidak
tergantikan. Tanah sebagai sasaran produksi harus dimanfaatkan dan dikelola
untuk kebutuhan bertahan hidup. Sebagai contoh, di kepulauan Lease Maluku
Tengah, masyarakat disana menggunakan tanah secara kolektif keluarga besar/marga.
Sehingga disana tidak memiliki hak kepemilikan pribadi secara mutlak dari
individu.
Fenomena ini yang akhirnya
bersinggungan secara tajam dengan hukum positif negara. Saat ini negara
menerapkan dan mengeluarkan berbagai peraturan hukum untuk mengatur
permasalahan agraria. Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan,
UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,[3] UU
No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No.2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Semua aturan terkait perkebunan, pertambangan mineral dan batubara,
penanaman modal dan pertanian pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari
rezim. Karena memberikan fasilitas sedemikian luas kepada modal asing untuk
mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui konsesi hak guna usaha, kontrak
karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi lainnya bagi investor
asing untuk menguasai tanah di Indonesia secara umum dan tanah adat pada
khususnya.
Dalam pandangan masyarakat adat,
aturan-aturan yang disebutkan di atas, memberikan pengesahan atas terjadinya
perampasan tanah dalam bentuk perluasan perkebunan skala raksasa dan pertanian
pangan skala raksasa (food estates), pembangunan
infrastruktur melalui program MP3EI di berbagai pulau di Indonesia yang dilakukan oleh rezim.
Segala bentuk peraturan tersebut yang
menyebabkan benturan hukum dengan hukum adat di Maluku yang tidak mengizinkan
monopoli dan perampasan tanah. peraturan hukum positif dari negara secara jelas
akan mengubah tatanan kehidupan agraria di masyarakat adat. Masyarakat
pertanian, perkebunan, dan hutan akan beralih fungsi menjadi buruh-buruh
perkebunan, pertanian, kehutanan, hingga buruh industri pertambangan.
Kedaulatan masyarakat secara kolektif atas tanah akan hilang jika hukum positif
negara diterapkan di masyarakat adat.
Hal ini bahkan bukan sekedar wacana saja, selama
periode 2004-2010, perampasan tanah yang terjadi di sektor perkebunan besar swasta
dan negara meliputi 24,7 juta hektar tanah dan menyengsarakan lebih dari 11,4
juta orang kaum tani. Jumlah rakyat yang menderita akibat perampasan tanah
dalam sektor perkebunan, diperkirakan jauh lebih besar lagi. Karena ini baru
merupakan jumlah petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya. Dengan
demikian, data ini belum mencakup jumlah petani yang hidup dan bekerja dari
perkebunan-perkebunan komoditas lainnya.[4]
Khusus untuk perampasan tanah pertanian, proyek MIFEE di
Merauke, Papua yang banyak menyita perhatian. Karena proyek ini akan merusak
hutan purba Papua, mengancam akses pangan rakyat, membangkitkan kembali program
transmigrasi guna mendatangkan tenaga kerja proyek dari pulau-pulau di luar
Papua, dan pembangunan infrastruktur proyek yang begitu luasnya (jalan-jalan
baru, pabrik-pabrik pengolahan energi nabati, dan lain sebagainya). Jumlah
tenaga kerja yang diperlukan untuk proyek pertanian skala raksasa ini adalah
sekitar 6,4 juta orang—tiga kali lipat dari jumlah penduduk Papua yang saat ini
berjumlah 2,1 juta jiwa.[5]
Berdasar pada hal diatas maka dapat
dilihat bahwa terdapat kontradiksi yang jelas dan kian meruncing antara hukum
posisitif negara dan rencana pembangunan nasional dengan hukum dan kebudayaan
masyarakat adat. Kontradiksi ini muncul karena permasalahan prespektif hukum
dan pembanguan yang dimiliki oleh pemerintah. Prespektif hukum dan pembangunan
yang terus dilahirkan oleh pemerintah menunjukan watak kompradornya. Watak
komprador ini berarti juga watak yang anti rakyat, karena hasil yang ingin
dicapai adalah masuknya investor dengan kapital yang besar. Sehingga dapat
menguntungkan rezim.
Referensi
Faryadi, Erpan. “Ketimpangan Penguasaan Tanah dan Krisis
Pangan di Indonesia.” ANGOC,
2008.
Topatimasang,
Roem. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik.
Yogyakarta: INSISTpress, 2005.
Sawit Watch. HGU
dan HAM. Jakarta: Diterbitkan oleh Sawit Watch, 2007.
1. Penggunaan
istilah ‘masyarakat adat’ untuk menyebut golongan masyarakat atau bangsa
minoritas sesungguhnya harus segera dikaji secara lebih ilmiah. Lahirnya
istilah ‘masyarakat adat’ atau ‘indegenous people’ sesungguhnya merupakan upaya
kolonial untuk membentuk suatu identitas bersama atas golongan-golongan
minoritas yang sangat banyak dan beragam di Indonesia. Kini, penyebutan
‘masyarakat adat’ mengandung berbagai konotasi negatif yang cenderung
generalistik dan kental dengan nuansa ‘keterbelakangan’, keprimitifan, dan
ketidakberadaban. Pandangan-pandangan yang merendahkan kemanusiaan dan kekhasan
kultural ini harus diubah dengan suatu konsensus yang tidak mengedepankan
generalisasi yang abstrak namun memberi nuansa keberagaman yang obyektif.
0 komentar:
Post a Comment