Friday 11 October 2013

Konflik Antara Masyarakat Adat dan Pemerintah (Kontradiksi Hukum Positif dan Hukum Adat)

Konflik Antara Masyarakat Adat dan Pemerintah
(Kontradiksi Hukum Positif dan Hukum Adat)
 Symphati Dimas R

Selama ini muncul anggapan bahwa pelaksanaan reforma agraria akan mengancam eksistensi golongan masyarakat atau bangsa minoritas atau yang biasa disebut ‘masyarakat adat’.[1] Anggapan ini sesungguhnya tidaklah keliru, namun tidak pula tepat. Munculnya anggapan ini berasal dari pelaksanaan pseudo land reform (reforma agraria palsu) yang dilaksanakan pemerintah pada masa Orde Baru melalui program transmigrasi. Sebagaimana telah banyak diulas secara kritis dan ilmiah, pelaksanaan program transmigrasi pada era Orde Baru pada akhirnya memunculkan kesan ‘Kolonialisme Jawa’ yang memunculkan reaksi negatif dari masyarakat dalam berbagai bentuk konflik sosial sampai gerakan bersenjata. Reaksi tersebut dikarenakan program transmigrasi dilaksanakan tanpa terlebih dulu melakukan penyiapan infrastruktur sosial, politik, dan kebudayaan pada masyarakat yang sebelumnya mendiami areal transmigrasi.
        Di samping itu, permasalahan pokok lain yang dialami oleh kalangan masyarakat minoritas adalah besarnya ancaman terhadap kelangsungan kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaannya akibat penetrasi kapital rakus. Penetrasi ini berlangsung dalam berbagai bentuk yang pada intinya merusak tatanan ekonomi, politik, dan budaya masyarakat yang telah berakar dalam tradisi. Perusakan ini kerap dilegitimasi dengan peraturan-peraturan agraria dan investasi yang memang tidak berpihak dan berorientasi pada kesinambungan hidup masyarakat minoritas. Namun perusakan tetap saja harus diakui oleh kita semua sebagai sebab dari kemiskinan dan kesengsaraan golongan masyarakat minoritas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Peraturan-peraturan tentang agraria yang diterbitkan oleh pemerintah kerap bertabrakan dengan hukum-hukum adat masyarakat. Seperti yang terbaru, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Undang-undang ini mengatur tentang bagaimana proses pengambilalihan tanah atau perampasan tanah atas nama negara dan kepentingan umum. Keberadaan peraturan ini juga merambah ke ranah tanah adat masyarakat minoritas. Permasalahan utama yang hadir dari peraturan ini adalah adanya proses perubahan pemanfaatan tanah.
Harus dipahami bahwa redistribusi lahan yang merupakan program inti reforma agraria tidak bermaksud untuk mengkapling-kapling tanah dan membagi-bagikannya kepada kaum tani sehingga menjadi barang milik secara perseorangan. Redistribusi lahan secara esensi lebih berorientasi pada pengembalian manfaat lahan yang sebelumnya dikuasai secara monopoli oleh tuan-tuan tanah kepada kaum tani. Oleh karenanya, dalam konteks kepentingan sosio-budaya golongan masyarakat minoritas, redistribusi bisa dilakukan tanpa merombak basis kepemilikan lahan yang masih berwatak komunal. Perombakan struktur agraria yang monopolistik melalui pelaksanaan reforma agraria sejati pada akhirnya memberikan perlindungan sekaligus dorongan untuk pengembangan kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan bagi bangsa-bangsa minoritas secara berkesinambungan.
Salah satu masyarakat minoritas yang menjadi target sasaran dari tata perundang-undangan dan konsep pembangunan nasional saat ini adalah wilayah indonesia bagian timur. Hal ini terjadi mulai awal tahun 1990-an hingga saat ini. Masyarakan adat disana sempat melakukan pertemuan di Ambon, dihadiri masyarakat adat Maluku dan Papua. Mereka sepakat bahwa salah satu masalah pokok bersama adalah pencaplokan kawasan ulayat adat mereka oleh pemerintah dan perusahan swasta besar dari luar.[2]
Kepulauan Maluku terdiri 1.027 pulau besar dan kecil, yang tersebar seluas 851.000 km², terdiri dari 85.728 km² (10,1%) berbentuk daratan, sementara 765.272 km² (89,9%) berupa lautan. Dalam hal kepadatan penduduk juga Maluku tidak sepadat provinsi lainnya. Menurut sensus penduduk 2010 penduduk di kepulauan Maluku sebanya 1.533.506 jiwa.
Permasalahan tanah adat di Maluku dan Papua ini tidak jauh berbeda dengan pandangan dengan masyarakat adat di wilayah lain. Bagi mereka tanah adalah sumber kehidupan dan kebudayaan yang tidak tergantikan. Tanah sebagai sasaran produksi harus dimanfaatkan dan dikelola untuk kebutuhan bertahan hidup. Sebagai contoh, di kepulauan Lease Maluku Tengah, masyarakat disana menggunakan tanah secara kolektif keluarga besar/marga. Sehingga disana tidak memiliki hak kepemilikan pribadi secara mutlak dari individu.
Fenomena ini yang akhirnya bersinggungan secara tajam dengan hukum positif negara. Saat ini negara menerapkan dan mengeluarkan berbagai peraturan hukum untuk mengatur permasalahan agraria. Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,[3] UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Semua aturan terkait perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari rezim. Karena memberikan fasilitas sedemikian luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia secara umum dan tanah adat pada khususnya.
Dalam pandangan masyarakat adat, aturan-aturan yang disebutkan di atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah dalam bentuk perluasan perkebunan skala raksasa dan pertanian pangan skala raksasa (food estates), pembangunan infrastruktur melalui program MP3EI di berbagai pulau di Indonesia yang dilakukan oleh rezim.
Segala bentuk peraturan tersebut yang menyebabkan benturan hukum dengan hukum adat di Maluku yang tidak mengizinkan monopoli dan perampasan tanah. peraturan hukum positif dari negara secara jelas akan mengubah tatanan kehidupan agraria di masyarakat adat. Masyarakat pertanian, perkebunan, dan hutan akan beralih fungsi menjadi buruh-buruh perkebunan, pertanian, kehutanan, hingga buruh industri pertambangan. Kedaulatan masyarakat secara kolektif atas tanah akan hilang jika hukum positif negara diterapkan di masyarakat adat.
Hal ini bahkan bukan sekedar wacana saja, selama periode 2004-2010, perampasan tanah yang terjadi di sektor perkebunan besar swasta dan negara meliputi 24,7 juta hektar tanah dan menyengsarakan lebih dari 11,4 juta orang kaum tani. Jumlah rakyat yang menderita akibat perampasan tanah dalam sektor perkebunan, diperkirakan jauh lebih besar lagi. Karena ini baru merupakan jumlah petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya. Dengan demikian, data ini belum mencakup jumlah petani yang hidup dan bekerja dari perkebunan-perkebunan komoditas lainnya.[4]
Khusus untuk perampasan tanah pertanian, proyek MIFEE di Merauke, Papua yang banyak menyita perhatian. Karena proyek ini akan merusak hutan purba Papua, mengancam akses pangan rakyat, membangkitkan kembali program transmigrasi guna mendatangkan tenaga kerja proyek dari pulau-pulau di luar Papua, dan pembangunan infrastruktur proyek yang begitu luasnya (jalan-jalan baru, pabrik-pabrik pengolahan energi nabati, dan lain sebagainya). Jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk proyek pertanian skala raksasa ini adalah sekitar 6,4 juta orang—tiga kali lipat dari jumlah penduduk Papua yang saat ini berjumlah 2,1 juta jiwa.[5]
Berdasar pada hal diatas maka dapat dilihat bahwa terdapat kontradiksi yang jelas dan kian meruncing antara hukum posisitif negara dan rencana pembangunan nasional dengan hukum dan kebudayaan masyarakat adat. Kontradiksi ini muncul karena permasalahan prespektif hukum dan pembanguan yang dimiliki oleh pemerintah. Prespektif hukum dan pembangunan yang terus dilahirkan oleh pemerintah menunjukan watak kompradornya. Watak komprador ini berarti juga watak yang anti rakyat, karena hasil yang ingin dicapai adalah masuknya investor dengan kapital yang besar. Sehingga dapat menguntungkan rezim.

Referensi

Faryadi, Erpan. “Ketimpangan Penguasaan Tanah dan Krisis Pangan di Indonesia. ANGOC, 2008.

Topatimasang, Roem.  Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik. Yogyakarta: INSISTpress,  2005.

Sawit Watch. HGU dan HAM. Jakarta: Diterbitkan oleh Sawit Watch, 2007.



1. Penggunaan istilah ‘masyarakat adat’ untuk menyebut golongan masyarakat atau bangsa minoritas sesungguhnya harus segera dikaji secara lebih ilmiah. Lahirnya istilah ‘masyarakat adat’ atau ‘indegenous people’ sesungguhnya merupakan upaya kolonial untuk membentuk suatu identitas bersama atas golongan-golongan minoritas yang sangat banyak dan beragam di Indonesia. Kini, penyebutan ‘masyarakat adat’ mengandung berbagai konotasi negatif yang cenderung generalistik dan kental dengan nuansa ‘keterbelakangan’, keprimitifan, dan ketidakberadaban. Pandangan-pandangan yang merendahkan kemanusiaan dan kekhasan kultural ini harus diubah dengan suatu konsensus yang tidak mengedepankan generalisasi yang abstrak namun memberi nuansa keberagaman yang obyektif.
2. Roem Topatimasang, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik, (Yogyakarta: INSISTpress,  2005), 96.
3.UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal memberi Hak Guna Usaha (HGU) tanpa pembedaan asing dan nasional kepada sebuah perusahaan selama 90 tahun.
4. Eric Wakker, 2006, publikasi Sawit Watch tentang ekspansi perkebunan kelapa sawit dan Direkorat Jenderal Perkebunan Republik Indonesia, tentang komoditas perkebunan.
5. Lihat Peter Robson, “West Papua: Land grab to displace locals”, dalam Green Left online, 10 April 2010.

0 komentar:

Post a Comment